Jumat, 16 Juli 2010

LORONG KE PUSAR RUMAH NOVEL ARIE MP TAMBA

Oleh Sides Sudyarto DS

Koran yang memuat karya ini sebagai cerita bersambung, adalah koran yang berani. Juga penerbit yang menerbitkan cerbung itu dalam bentuk buku, adalah juga penerbit yang berani. Baik penebit koran maupun penerbit buku itu cukup berani ambil risiko jika kemudian pembaca merasa lelah atau bosan membaca cerita tersebut.

Saya sendiri tidak mempermasalahkan kalimat-kalimat panjang ataukah teramat panjang seperti yang terjadi dalam LKPR tersebut. Sebab novel-novel di Barat, juga Amerika Latin, kalimat panjang-panjang sudah masalah biasa. Masih ada keberanian lain dari pengarangnya: Sepanjang berpuluh halaman dalam belasan bagian, tidak ada dialog. Maka yang terjadi ialah monolong sang penulis, yang semoga saja terpahami dan termaklumi oleh minimal sebagain dari lapisan pembacanya.

Kisahnya memang tidak terlalu sederhana. Sang Pengarang sebagai kekuatan paling berkuasa, menentukan adanya dua kelurga yang sama-sama kaya, bersaing, berselisih, bertengkar dan kemudian berperkara di muka pengadilan. Keluaraga pertama, memilih anaknya yang sulung lelaki, untuk bertindak atas nama keluarganya. Keluarga yang kedua, memberikan mandat kepada anak puteri sulungnya, sebagai kuasa dalam berperkara. Menurut kehendak pihak yang paling menentukan, yakni otoritas sang pengarang, masing-masing wakil keluarga yang berselisih itu malah saling jatuh cinta. Dan walaupun masing-masing keluarga sama tidak bersetuju, mereka menikah juga, jadi suami istri. Kisah selanjutnya, bagi saya tidak penting.

Menurut hemat saya, Tamba sebagai penulis sedang bereksperimen. Dan seperti halnya setiap eksperimen bisa gagal, bisa berhasil. Eksperimen dilakukan penulis dalam gaya bertutur, tetapi tidak adalam gaya bahasa. Bahasa novel ini adalah bahasa harian. Dengan kata-kata yang terangkai secara harian pula.

Sebenarnya, jika saja penulis bereksperimen dengan berani, dan tidak kepalang tanggung, ia akan semakin tinggi kualifikasi karya fiksinya. Dalam kesempatan ini, saya untuk kesekian kalinya, bahwa tidak ada fiksi di luar bahasa. Ada segolongan orang yang berpendirian, bahwa bahasa hanyalah medium bagi fiksi. Tetapi ada juga yang berpendapat, bahasa lebih dari sekadar medium. Bahasa adalah bahan pokok bagi setiap karya fiksi yang tidak terpisahkan dengan gugusan gagasan dalam setiap cipta sastra. Dalam realitas demikian itu, antara bahasa dan isi tidak perlu pemisahan atai dikotomi yang salah kaprah.

David Lodge, dalam bukunya Language of Fiction, menegaskan bahwa: The novelist medium is language; whatever he does, qua novelist, he does in and through language. Pertanyaan selanjutnya, kalau medium itu tidak mendapatkan olahan yang maksimal, lalu bagaimana dengan nasib sebuah fiksi?

Mengapa kisah selanjutnya saya anggap tidak penting? Mungkin itu memang sebuah pernyataan yang berlebihan, atau malah tidak perlu. Saya katakana demikian, sebab apa pun plot cerita, saya terima saja, sekali lagi, sebagai otoritas si penulis sebagai pihak yang paling berkuasa dalam dan atas cerita tersebut.

Persoalan selanjutnya, yang ingin saya kemukakan di sini adalah, apa yang dinyatakan oleh Lodge, ketika ia membandingkan prosa dan puisi, untuk sekadar mengetahui perbedaannya yang paling mendasar.

Prose is essentially logical, poetry creates non-logical patterns by means metre, rhytm. Alliteration, etc. Nah bagaimana jika kekuatan logika itu kita terapkan dalam nobel Arie Tamba ini? Tidak sulit bagi pembaca untuk memperoleh kesan, pertarungan antara dua keluarga yang berselisih itu adalah nasib, takdir, bukan sesuatu yang terurai secara rasional. Selanjutnya, sepasang muda-mudi duta masing-masing keluarga yang saling jatuh cinta, itu pun nasib, bukan disuguhkan secara rasional.

Tetapi bukankah dalam novel Iwan Simatupang terjadi seorang pelaku yang nekad lompat untuk bunuh diri kemudian menimpa seorang wanita, lalu berubah sebagai perkawinan sekaligus pernikahan yang meriah? Ya, tetapi struktur karya Iwan Simatupang itu telah direka cipta dalam bingkai surealisme atau sejenisnya.

Lalu, ketika pasangan suami istri muda itu harus mengungsi hampir ke seluruh ibu kota Negara-negara yang ada didunia ini, saya kira juga berlebihan, dalam arti berbau hiperbola. Tetapi bukankah surealis memang sesuatu yang berlebihan atau dilebih-lebihkan? Ya tetapi surealisme membutuhkan dasar dan alasannyanya sendiri, dan agak tidak cocok bila dicangkok dalam nafas dan nuansa realisme yang biasa-biasa saja.

Dalam beberapa hal, tentang nama, misalnya, juga perlu diajukan sebagai pertanyaan. Mengapa penulis menghindar dariu pemakaian nama untuk para pelakunya? Persis seperti yang pernah dilakukan oleh Iwan Simatupang, yang memakai “nama” Tokoh Kita, Si Jangkung, Si Kacamata. Tetapi ketika Iwan menggunakan nama-nama seperti nama manusia biasa, Vivi, misalnya, itu pun tidak mengurangi keindahan literer karya-karyanya. Sadarkah penulis akan persoalan yang sedemikian itu?

Dalam karya Arie Tamba ini, tidak diperguankan nama selazimnya, maka yang ada adalah sebutan Si Pendiam, Si Perempuan Tua, Si Bocah Gagu, yang tentu saja lebih makan tempat, dibanding jika ia menggnakan naam biasa.

Terus terang harus saya kataan, untuk membaca novel Bung Tamba ini diperlukan perjuangan tersendiri, bagi orang-orang yang tidak akrab dengan karya-karya seperti Gabriel Garcia Marquez atau Salman Rushdie.Dalam panjangnya kalimat-kalimat Marquez, selalu ada kesegaran dan informasi penting di paling ujung kalimat sekalipun.

Maka kalimat panjang dalam karya Marquez bukanlah sesuatu yang terpaksa atau tidak disengaja, atau juga bukan sekadar asal tampil lain, melainkan ada satu konsekuensi yang hilang jika tidak cukup panjang kalimat yang diuntainya.

Setahu saya Arie Tamba adalah penulis yang banget rajin membaca karya-karya banyak penulis kaliber peraih Nobel. Dia juga pembaca yang tekun buku-buku yang terkait dunia sastra, utamanya filsafat mutakhir. Saya percaya benar, ia mengenal proses kreatif banyak tokoh penulis dunia, seperti Llosa, Saramago dan lain-lain. Tentu saja tidak ada maksud saya untuk menganjurkan kepada siapa pun untuk menjadi bayang-bayang di balik nama-nama besar itu. Tetapi dengan membandingkan daya dan gaya penulisan penulis kelas raksasa itu, bisa memperkaya atau paling tidak menginspirasi kita dalam berkarya. Lalu apa pula pasalnya kita bicara sosal filsafat dalam momentum seperti ini?

Kita banyak menemukan karya sastra yang menggunjingkan soal remeh temeh, seperti misalnya Borges yang malah berbicara sesuatu yang tidak ada, atau Alicia Yanez Cossio, yang berkisah tentang IWM 1000, sebuah mesin yang mengubah karakter dan budaya masyarakat yang belum pernah ditemukan itu. Tetapi mereka itu bertutur lewat cerita yang berstruktur kuat, serius dengan bahasa yang meyakinkan. Mengapa Arie Tamba berbuat sebaliknya? Ia berkisah tentang suatu hal yang sangat penting, masalah serius, melalui simbolisme yang tersembunyi, tetapi ia tidak berudaha keras untuk membuat segalanya jadi meyakinkan. Ia masih melahirkan dialog-dialog yang terkesan terlalu ringan, tidak serius, dan sebagainya (Halaman 102).

Selebihnya harus saya katakan, bahwa pembaca memang tidak berhak menuntut hal-hal tertentu dari karya Arie Tama ini, yakni hal-hal yang biasanya bisa dipenuhi oleh fpksi-fiksi konvensional. Perlahan-lahan, barangkali agak malu-malu juga, dengan bersijingkat ia sedang meninggalkan konvensi-konvensi lama, kanon-kanon yang sudah mulai mapan, menuju atau mencari yang pascakonvensi.

Dibenarkan oleh perwatakan pribadinya yang lemah lembut dan selalu berhat-hati, maka perubahan ledakan yang dramatik, spontan dengan menjungkirbalikkan apa yang lumutan dan berkarat secara radikal, drastik dan cepat seperti sesuau yang bernama revolusi, adalah belum waktunya. Arie MP Tamba mungkin saja lebih cocok dengan reformasi ketimbang revolusi. Itu tampak, antara lain, ia berani mengumandangkan ide-idenya yang hidup dan liar. Tetapi, entah mengapa, ia sendirilah yang meredam dan mengekang keliaran ide-idenya yang justru menuju ke arah perubahan dan pembaruan literer yang ditunggu banyak orang.

Masalahnya, fiksi-fiksi serius filosofis yang dirintis dan dipelopori Iwan Simatupang, ternyata tidak berkelanjutan dalam sejarah sastra kita hingga sekarang ini. Apa boleh buat, Iwan Simatupang ternyata cuma satu dan telah meninggal dunia pula. Seperti dalam kehidupan politik, dalam dunia sastra kita pun tidak pernah ada kaderisasi.

Jakarta, Mei, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar